Sudah lama ya nggak ngomongin hal-hal yang blogging dan branding related.
Sebenarnya postingan ini sedikit long overdue mengingat kesibukan
saya yang lagi-lagi marai mumet everyday itu (+ saya sempat kena tipes 2
minggu). Tapi tenang aja, kali ini saya mau membahas sedikit soal media sosial
untuk institusi resmi, terinspirasi dari
Netizen Gathering Jogja bersama MPR RI.
Jadi sedikit background story, kemarin saya diundang oleh Mak Indah
Juli untuk mengikuti Netizen Gathering Jogja, event rutin yang dilaksanakan
MPR untuk menjaring aspirasi warganet seputar media sosial MPR RI. Acara tahun
ini dilakukan di salah satu hotel favorit saya di Jogja yaitu Porta by
Ambarrukmo, jadi nggak mungkin saya skip.
Selain itu, saya juga tertarik karena branding media sosial untuk sebuah
institusi resmi dalam hemat saya adalah suatu hal yang tricky, rumet,
dan njelimet. Jadi kapan lagi seorang Agi bisa mendapatkan kehormatan untuk
roasting akun media sosial pemerintahan?
(cue background audio: "INILAH WAKTUKU BERSINAR FUFUFUFU")
Bermula dari Acara Netizen Gathering...
|
Foto oleh Mas Sitam. Terima kasih banyak mas!
|
Buat saya acara netizen gathering ini menarik. Saya sudah pernah beberapa kali
mengikuti acara semacam ini, namun belum pernah forum gathering dikondisikan
seperti sebuah focus group discussion dimana MPR benar-benar
mendengarkan dan ((curhat)) sedangkan kami-kami yang merupakan warganet yang
ruwet dan njelimet ini adalah narasumbernya.
Kami dikenalkan dengan sosok Ibu Siti Fauziah S.E., MM danBapak Muhammad Jaya
S.IP, M.Si dari MPR RI yang diamanatkan untuk menjaring aspirasi kami
(dan kamu) seputar sosial media. Satu persatu peserta ditanyai soal
pendapatnya terkait akun media sosial MPR RI, khususnya Instagram.
Nah karena yang diundang banyak, tentunya pendapat yang disampaikan juga
berbeda-beda. Sebagian besar akan saya rangkum di dalam blog post ini
ya.
Media Sosial MPR RI di Mata Saya.
Saya sendiri bukan orang yang mem-follow akun-akun institusi pemerintahan.
Selain akun-akun ini biasanya boring, kadang saya baru bertandang ke
akun institusi ini saat butuh saja--dan MPR bukanlah institusi yang beririsan
dengan keseharian saya.
(garis bawahi biasanya ya, karena ada kalanya akun institusi pemerintahan bisa
jadi seru, misalnya akun dirjen pajak yang sangat aktif mengganggu warganet
yang kerap flexing saldo rekening editan)
Di mata saya, akun media sosial MPR ini sudah baik sekali, karena cukup
informatif dan designnya sudah mulai mengikuti pakem desain kekinian, hanya
saja memang masih terasa kaku dan engagement masyarakat masih rendah. Bukan
salahnya MPR sih, lebih ke memang mencari engagement di Instagram itu jauh
lebih sulit dibandingkan media sosial lainnya. Menurut saya karena Instagram
ini termasuk vanity social media.
Medsos seperti Instagram tidak serta merta mempermudah kita untuk menemukan
akun-akun yang sebenarnya informatif dan kita butuhkan karena algoritmanya
sendiri mementingkan konten-konten yang sesuai dengan pencarian kita. Berbeda
dengan tiktok dan twitter yang cenderung mudah untuk menemukan kotnen-konten
dari orang yang tidak kita follow.
Nah pertanyaannya, bagaimana membuat media sosial instansi seperti MPR ini
mendapatkan traction dan exposure lebih banyak?
Media Sosial Bagi Instansi Resmi
Saya memulai diskusi saya dengan MPR melalui sebuah pertanyaan yang sering
terlewat namun penting, "seperti apa insight akun sosial media MPR saat ini?"
Trust me banyak banget orang yang terlalu sibuk fokus pada
user acquisition atau mendapatkan user baru ketimbang
mempertahankan user yang sudah ada. Padahal sebenarnya menggaet pasar baru itu
belum tentu punya dampak yang positif bagi media sosial kita.
Selain itu mengetahui insight dari media instansi sebelum memberikan saran
juga akan membantu memberikan arah yang impactful. Kalau cuma liat sekilas
doang kan info dan sarannya nggak sesuai dengan target ya. Nanti saya suruh
bikin konten giveaway murah meriah eh followernya sultan semua kan ngga
enak.
Cuma memang belakangan ini trendnya adalah banyak pejabat dan instansi
pemerintah yang menginginkan atensi dari para pemuda (saya ngga bilang
millenials ya because that term is so overused). Dan memang anak-anak
generasai sekarang memang kebanyakan kurang interested dengan politik.
Pada dasarnya bagi instansi pemerintahan, media sosial adalah salah satu
perpanjangan tangan dari tugas kehumasan. Nah masalahnya, bahasa yang
digunakan oleh humas secara resmi memang belum tentu sinkron dengan bahasa
yang digunakan oleh netizen saat berkomunikasi. Jadi humas sekarang tugasnya
juga memastikan bahasa komunikasi yang digunakan itu sinkron dengan bahasa
warganet.
Susah kan? Makanya bagi instansi-instansi yang berhasil mengomunikasikan
pesan-pesan dari instansinya secara mudah, itu gak gampang dan nilai plus
banget.
Kalau dari beberapa literatur yang saya baca ada beberapa strategi konten
untuk media sosial instansi yang perlu dicermati yaitu:
-
Memiliki pesan-pesan positif yang ingin disampaikan kepada
masyarakat.
-
Singkat dan to the point. Masyarakat rupanya tidak suka info yang
bertele-tele.
-
Berdampak pada keseharian pemirsanya (misalnya, info harga cabe dikasi ke
bapak-bapak yang GERD akut dan ga doyan pedes tentunya ngga bakal ada
dampaknya)
-
Humanis dan menarik. Kebanyakan konten instansi itu fokusnya cuma di
kegiatan-kegiatan seremonial yang tentunya minim unsur humanisme sehingga
banyak yang nggak doyan nontonin.
First Impression saya terhadap Instagram @MPR_RI
Jujur kesan pertama di sosial media itu penting banget menurut saya. Dalam 30
detik pertama kita melihat sosial media seseorang, disitulah kita mendapatkan
kesan terhadap orang tersebut. Kalau kata anak jaman sekarang:
love at first scroll.
Menurut saya media sosial MPR masih standar banget layaknya media sosial
instansi pada umumnya. Sebagai perbandingan, media sosial MPR masih belum
berinteraksi dengan kebanyakan komen atau followernya. Hal ini wajar karena
media sosial MPR masih belum dihandle oleh tim khusus, misalnya tim khusus
instagram, tim khusus twitter, dan lain sebagainya.
Ini juga penting karena strategi konten di masing-masing media sosial
berbeda-beda. Membiarkan media sosial dihandle oleh tim yang sudah kewalahan
memproduksi konten itu sama dengan social suicide di mata saya. Tim pasti akan
overworked dan hasilnya interaksi di media sosial jadi tidak terkelola dengan
baik.
Selain itu, terdapat beberapa titik kritis dari media sosial instansi
pemerintah yang lekat dengan dunia politik seperti MPR. Salah satu yang paling
penting adalah: komentar yang negatif terhadap instansi tersebut.
Saya lihat ada BANYAK komentar yang harusnya tidak diarahkan ke media sosial
MPR, tapi karena kurangnya literasi masyarakat, komentar yang harusnya jadi
isu publik ini berakhir jadi ranting semata di komentar instagram. Nah
sebenarnya fungsi admin Instagram adalah menyortir dan berinteraksi dengan
akun-akun ini. Menjalin interaksi dengan pemirsa bisa jadi PR penting yang
harus dilakukan oleh MPR.
Saran-Saran yang Saya Berikan kepada MPR RI
Sebelumnya saya mau share kalau saya mejeng di Medsos MPR dulu hehehe. Halo ma, pa, anaknya masuk tipi wkwkwkwk.
Ada beberapa saran yang saya berikan kepada MPR RI--mungkin saran ini juga
bisa kalian terapkan di media sosial institusi kalian (mungkin lho ya, kalau
mau konsultasi e-mail saya mah masih sama)
Memastikan Audience dan Insight
Banyak media sosial institusi yang melakukan targeting tanpa mengecek terlebih
dahulu inisght dan audience mereka. Misalnya, tanpa mengecek insight langsung
ujug-ujug kepengen menarget anak muda kekinian yang masih kinyis-kinyis, tanpa
menyadari bahwa audience loyal mereka adalah bapak-bapak usia 35 tahun ke
atas.
Hasilnya adalah audience loyal kabur (karena konten dianggap tidak sesuai
dengan selera mereka lagi) atau bahkan tershadowbanned karena tak lagi sesuai
algoritma biasanya sedangkan audience baru belum sempat ter-reach dengan
baik.
Jadi menurut saya targeting audience harus realistis. Gak apa-apa kok kalau
misalnya audience yang dominan mengikuti media sosial institusi itu bukan anak
muda. Toh, nggak semua pengguna media sosial itu anak muda.
Kalaupun memang ingin menarget audience muda, media sosial institusi juga
harus berbenah dan mau menghilangkan batasan-batasan yang membuat media sosial
terkesan kaku. Misalnya, seperti DJP yang doyan ninu-ninu netizen dan pamer
kucing, atau admin TNI AL dan Gerindra yang hobi melempar jokes
bapak-bapak.
Membuat Branding Guidelines
Sebelumnya dalam
artikel ini saya sudah pernah menjelaskan pentingnya membuat branding guideline. Ini akan
mempermudah dan menghemat waktu tim humas dan media sosial MPR saat membuat
dan merespon suatu konten.
Branding guidelines sendiri berisi penjelasan mengenai brand, poin-poin visual
agar selalu berkesinambungan di setiap postnya, serta poin-poin lainnya yang
harus selalu ada di dalam suatu konten. Ini memudahkan pengelolaan sosial
media yang dilakukan oleh team.
Nah karena kemarin saya dijelaskan bahwa media sosial MPR dikelola oleh tim
secara in-house, maka berarti kan ada beberapa orang yang menghandle satu
project ini, misalnya videografer, fotografer, designer, copywriter, dan
admin. Membuat branding guidelines akan membantu tim MPR untuk lebih mudah
membuat konten yang 'senada' tanpa perlu banyak brainstorming.
Tapi untuk institusi lain yang punya tim media sosial yang lebih kecil bisa
menggunakan langkah lain yaitu membuat template media sosial. Sure template
itu kesannya kaya nggak organik, namun ini akan memudahkan feeds instagram
tampil lebih seragam dan lebih enak dilihat. Selain itu, template juga akan
memberikan ciri khas tersendiri di media sosial dan mempermudah kerja
adminnya.
Membuat Konten yang Lebih Organik dan Humanis
Biasanya sosial media institusi selalu terkungkung dalam konten yang sifatnya
monoton karena hanya mengangkat keseharian institusi tersebut misalnya rapat,
pertemuan, apel, kunjungan, dan lain sebagainya. Padahal sebenarnya ada banyak
konten organik yang bisa diangkat di media sosial tanpa harus kehilangan 'jati
dirinya' sebagai media institusi.
Contoh: konten yang tadinya 'memamerkan' foto pimpinan institusi, atau foto
figur publik, bisa diganti dengan konten foto yang menyorot reaksi dan
kegiatan masyarakat saat terlibat dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh
institusi tersebut.
Konten lain yang bisa dibuat oleh institusi misalnya trivia menarik seputar
institusi, topik sejarah, kuis, konten giveaway dan lain-lain. Tentunya konten
ini perlu merujuk pada insight audience yang dimiliki oleh Institusi
yaaa.
Menangani dan Merespon Konflik dengan Baik
Salah satu hal yang saya tangkap dari kolom interaksi di media sosial MPR RI
adalah adanya keluhan masyarakat yang tidak pada tempatnya, misalnya kesal
dengan pelayanan publik atau marah-marah soal kasus korupsi salah satu
politisi (yang bahkan bukan anggota MPR).
Disini komentar-komentar negatif ini sering tidak terbalas. Kadang memang ada
admin atau institusi yang memiliki policy untuk tidak membalas komentar
Netizen, tapi saya jujur agak kurang setuju dengan cara ini.
Sosial media adalah garda terdepan dalam menghadapi konflik masyarakat.
Masyarakat banyak yang mengandalkan media sosial untuk menyampaikan
keluhan-keluhan yang mereka miliki, sehingga respon terhadap konflik menjadi
hal yang sangat penting untuk dikuasai di media sosial.
Misalnya, saat ada keluhan yang harusnya diarahkan ke Ombudsman RI, tapi
karena ketidaktahuan masyarakat keluhan tersebut 'nyasar' di media sosial MPR,
maka Admin bisa merespon dengan mengarahkan ke jalur komplain yang tepat.
Jangan lupa untuk gunakan bahasa yang penuh empati saat menyampaikan arahan
tersebut.
Nah disinilah pentingnya brand guidelines. brand guidelines bisa membantu
Admin untuk memberikan respon awal yang sesuai dengan arahan institusi. Jadi,
admin nggak bingung harus membalas apa.
Ide Konten dari Duckofyork untuk MPR RI
Karena menurut saya mengkritisi dan memberikan saran tidak akan seimbang jika tidak dilakukan dengan contoh, maka saya ((iseng)) membuat moodboard seandainya saya bekerja sebagai content creator di MPR RI.
Tentunya moodboard ini masih mentah banget karena (lagi-lagi) proses recovery tipes saya kali ini sedikit lebih panjang daripada biasanya. Tapiiiiii.... teteup menurut saya membuat moodboard seperti ini bisa membantu rekan-rekan di MPR dalam menentukan proses kreasi konten kedepannya.
Selain itu membuat kalender konten juga akan mempermudah admin, karena admin tidak perlu membuat konten setiap hari. Konten yang bagus juga bisa dishare ke media sosial lainnya secara berkala (jujur saya kebantu banget sama Canva premium yang bisa auto resize konten, meski saya nggak menyarankan untuk menggunakan Canva di media sosial Institusi Resmi hehehe)
Demikianlah sedikit blog post dari saya. Mungkin teman-teman ada yang berminat menambahkan?
Sudah lama ya nggak ngomongin hal-hal yang blogging dan branding related.
Sebenarnya postingan ini sedikit long overdue mengingat kesibukan
saya yang lagi-lagi marai mumet everyday itu (+ saya sempat kena tipes 2
minggu). Tapi tenang aja, kali ini saya mau membahas sedikit soal media sosial
untuk institusi resmi, terinspirasi dari
Netizen Gathering Jogja bersama MPR RI.
Jadi sedikit background story, kemarin saya diundang oleh Mak Indah
Juli untuk mengikuti Netizen Gathering Jogja, event rutin yang dilaksanakan
MPR untuk menjaring aspirasi warganet seputar media sosial MPR RI. Acara tahun
ini dilakukan di salah satu hotel favorit saya di Jogja yaitu Porta by
Ambarrukmo, jadi nggak mungkin saya skip.
Selain itu, saya juga tertarik karena branding media sosial untuk sebuah
institusi resmi dalam hemat saya adalah suatu hal yang tricky, rumet,
dan njelimet. Jadi kapan lagi seorang Agi bisa mendapatkan kehormatan untuk
roasting akun media sosial pemerintahan?
(cue background audio: "INILAH WAKTUKU BERSINAR FUFUFUFU")
Bermula dari Acara Netizen Gathering...
|
Foto oleh Mas Sitam. Terima kasih banyak mas!
|
Buat saya acara netizen gathering ini menarik. Saya sudah pernah beberapa kali
mengikuti acara semacam ini, namun belum pernah forum gathering dikondisikan
seperti sebuah focus group discussion dimana MPR benar-benar
mendengarkan dan ((curhat)) sedangkan kami-kami yang merupakan warganet yang
ruwet dan njelimet ini adalah narasumbernya.
Kami dikenalkan dengan sosok Ibu Siti Fauziah S.E., MM danBapak Muhammad Jaya
S.IP, M.Si dari MPR RI yang diamanatkan untuk menjaring aspirasi kami
(dan kamu) seputar sosial media. Satu persatu peserta ditanyai soal
pendapatnya terkait akun media sosial MPR RI, khususnya Instagram.
Nah karena yang diundang banyak, tentunya pendapat yang disampaikan juga
berbeda-beda. Sebagian besar akan saya rangkum di dalam blog post ini
ya.
Media Sosial MPR RI di Mata Saya.
Saya sendiri bukan orang yang mem-follow akun-akun institusi pemerintahan.
Selain akun-akun ini biasanya boring, kadang saya baru bertandang ke
akun institusi ini saat butuh saja--dan MPR bukanlah institusi yang beririsan
dengan keseharian saya.
(garis bawahi biasanya ya, karena ada kalanya akun institusi pemerintahan bisa
jadi seru, misalnya akun dirjen pajak yang sangat aktif mengganggu warganet
yang kerap flexing saldo rekening editan)
Di mata saya, akun media sosial MPR ini sudah baik sekali, karena cukup
informatif dan designnya sudah mulai mengikuti pakem desain kekinian, hanya
saja memang masih terasa kaku dan engagement masyarakat masih rendah. Bukan
salahnya MPR sih, lebih ke memang mencari engagement di Instagram itu jauh
lebih sulit dibandingkan media sosial lainnya. Menurut saya karena Instagram
ini termasuk vanity social media.
Medsos seperti Instagram tidak serta merta mempermudah kita untuk menemukan
akun-akun yang sebenarnya informatif dan kita butuhkan karena algoritmanya
sendiri mementingkan konten-konten yang sesuai dengan pencarian kita. Berbeda
dengan tiktok dan twitter yang cenderung mudah untuk menemukan kotnen-konten
dari orang yang tidak kita follow.
Nah pertanyaannya, bagaimana membuat media sosial instansi seperti MPR ini
mendapatkan traction dan exposure lebih banyak?
Media Sosial Bagi Instansi Resmi
Saya memulai diskusi saya dengan MPR melalui sebuah pertanyaan yang sering
terlewat namun penting, "seperti apa insight akun sosial media MPR saat ini?"
Trust me banyak banget orang yang terlalu sibuk fokus pada
user acquisition atau mendapatkan user baru ketimbang
mempertahankan user yang sudah ada. Padahal sebenarnya menggaet pasar baru itu
belum tentu punya dampak yang positif bagi media sosial kita.
Selain itu mengetahui insight dari media instansi sebelum memberikan saran
juga akan membantu memberikan arah yang impactful. Kalau cuma liat sekilas
doang kan info dan sarannya nggak sesuai dengan target ya. Nanti saya suruh
bikin konten giveaway murah meriah eh followernya sultan semua kan ngga
enak.
Cuma memang belakangan ini trendnya adalah banyak pejabat dan instansi
pemerintah yang menginginkan atensi dari para pemuda (saya ngga bilang
millenials ya because that term is so overused). Dan memang anak-anak
generasai sekarang memang kebanyakan kurang interested dengan politik.
Pada dasarnya bagi instansi pemerintahan, media sosial adalah salah satu
perpanjangan tangan dari tugas kehumasan. Nah masalahnya, bahasa yang
digunakan oleh humas secara resmi memang belum tentu sinkron dengan bahasa
yang digunakan oleh netizen saat berkomunikasi. Jadi humas sekarang tugasnya
juga memastikan bahasa komunikasi yang digunakan itu sinkron dengan bahasa
warganet.
Susah kan? Makanya bagi instansi-instansi yang berhasil mengomunikasikan
pesan-pesan dari instansinya secara mudah, itu gak gampang dan nilai plus
banget.
Kalau dari beberapa literatur yang saya baca ada beberapa strategi konten
untuk media sosial instansi yang perlu dicermati yaitu:
-
Memiliki pesan-pesan positif yang ingin disampaikan kepada
masyarakat.
-
Singkat dan to the point. Masyarakat rupanya tidak suka info yang
bertele-tele.
-
Berdampak pada keseharian pemirsanya (misalnya, info harga cabe dikasi ke
bapak-bapak yang GERD akut dan ga doyan pedes tentunya ngga bakal ada
dampaknya)
-
Humanis dan menarik. Kebanyakan konten instansi itu fokusnya cuma di
kegiatan-kegiatan seremonial yang tentunya minim unsur humanisme sehingga
banyak yang nggak doyan nontonin.
First Impression saya terhadap Instagram @MPR_RI
Jujur kesan pertama di sosial media itu penting banget menurut saya. Dalam 30
detik pertama kita melihat sosial media seseorang, disitulah kita mendapatkan
kesan terhadap orang tersebut. Kalau kata anak jaman sekarang:
love at first scroll.
Menurut saya media sosial MPR masih standar banget layaknya media sosial
instansi pada umumnya. Sebagai perbandingan, media sosial MPR masih belum
berinteraksi dengan kebanyakan komen atau followernya. Hal ini wajar karena
media sosial MPR masih belum dihandle oleh tim khusus, misalnya tim khusus
instagram, tim khusus twitter, dan lain sebagainya.
Ini juga penting karena strategi konten di masing-masing media sosial
berbeda-beda. Membiarkan media sosial dihandle oleh tim yang sudah kewalahan
memproduksi konten itu sama dengan social suicide di mata saya. Tim pasti akan
overworked dan hasilnya interaksi di media sosial jadi tidak terkelola dengan
baik.
Selain itu, terdapat beberapa titik kritis dari media sosial instansi
pemerintah yang lekat dengan dunia politik seperti MPR. Salah satu yang paling
penting adalah: komentar yang negatif terhadap instansi tersebut.
Saya lihat ada BANYAK komentar yang harusnya tidak diarahkan ke media sosial
MPR, tapi karena kurangnya literasi masyarakat, komentar yang harusnya jadi
isu publik ini berakhir jadi ranting semata di komentar instagram. Nah
sebenarnya fungsi admin Instagram adalah menyortir dan berinteraksi dengan
akun-akun ini. Menjalin interaksi dengan pemirsa bisa jadi PR penting yang
harus dilakukan oleh MPR.
Saran-Saran yang Saya Berikan kepada MPR RI
Sebelumnya saya mau share kalau saya mejeng di Medsos MPR dulu hehehe. Halo ma, pa, anaknya masuk tipi wkwkwkwk.
Ada beberapa saran yang saya berikan kepada MPR RI--mungkin saran ini juga
bisa kalian terapkan di media sosial institusi kalian (mungkin lho ya, kalau
mau konsultasi e-mail saya mah masih sama)
Memastikan Audience dan Insight
Banyak media sosial institusi yang melakukan targeting tanpa mengecek terlebih
dahulu inisght dan audience mereka. Misalnya, tanpa mengecek insight langsung
ujug-ujug kepengen menarget anak muda kekinian yang masih kinyis-kinyis, tanpa
menyadari bahwa audience loyal mereka adalah bapak-bapak usia 35 tahun ke
atas.
Hasilnya adalah audience loyal kabur (karena konten dianggap tidak sesuai
dengan selera mereka lagi) atau bahkan tershadowbanned karena tak lagi sesuai
algoritma biasanya sedangkan audience baru belum sempat ter-reach dengan
baik.
Jadi menurut saya targeting audience harus realistis. Gak apa-apa kok kalau
misalnya audience yang dominan mengikuti media sosial institusi itu bukan anak
muda. Toh, nggak semua pengguna media sosial itu anak muda.
Kalaupun memang ingin menarget audience muda, media sosial institusi juga
harus berbenah dan mau menghilangkan batasan-batasan yang membuat media sosial
terkesan kaku. Misalnya, seperti DJP yang doyan ninu-ninu netizen dan pamer
kucing, atau admin TNI AL dan Gerindra yang hobi melempar jokes
bapak-bapak.
Membuat Branding Guidelines
Sebelumnya dalam
artikel ini saya sudah pernah menjelaskan pentingnya membuat branding guideline. Ini akan
mempermudah dan menghemat waktu tim humas dan media sosial MPR saat membuat
dan merespon suatu konten.
Branding guidelines sendiri berisi penjelasan mengenai brand, poin-poin visual
agar selalu berkesinambungan di setiap postnya, serta poin-poin lainnya yang
harus selalu ada di dalam suatu konten. Ini memudahkan pengelolaan sosial
media yang dilakukan oleh team.
Nah karena kemarin saya dijelaskan bahwa media sosial MPR dikelola oleh tim
secara in-house, maka berarti kan ada beberapa orang yang menghandle satu
project ini, misalnya videografer, fotografer, designer, copywriter, dan
admin. Membuat branding guidelines akan membantu tim MPR untuk lebih mudah
membuat konten yang 'senada' tanpa perlu banyak brainstorming.
Tapi untuk institusi lain yang punya tim media sosial yang lebih kecil bisa
menggunakan langkah lain yaitu membuat template media sosial. Sure template
itu kesannya kaya nggak organik, namun ini akan memudahkan feeds instagram
tampil lebih seragam dan lebih enak dilihat. Selain itu, template juga akan
memberikan ciri khas tersendiri di media sosial dan mempermudah kerja
adminnya.
Membuat Konten yang Lebih Organik dan Humanis
Biasanya sosial media institusi selalu terkungkung dalam konten yang sifatnya
monoton karena hanya mengangkat keseharian institusi tersebut misalnya rapat,
pertemuan, apel, kunjungan, dan lain sebagainya. Padahal sebenarnya ada banyak
konten organik yang bisa diangkat di media sosial tanpa harus kehilangan 'jati
dirinya' sebagai media institusi.
Contoh: konten yang tadinya 'memamerkan' foto pimpinan institusi, atau foto
figur publik, bisa diganti dengan konten foto yang menyorot reaksi dan
kegiatan masyarakat saat terlibat dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh
institusi tersebut.
Konten lain yang bisa dibuat oleh institusi misalnya trivia menarik seputar
institusi, topik sejarah, kuis, konten giveaway dan lain-lain. Tentunya konten
ini perlu merujuk pada insight audience yang dimiliki oleh Institusi
yaaa.
Menangani dan Merespon Konflik dengan Baik
Salah satu hal yang saya tangkap dari kolom interaksi di media sosial MPR RI
adalah adanya keluhan masyarakat yang tidak pada tempatnya, misalnya kesal
dengan pelayanan publik atau marah-marah soal kasus korupsi salah satu
politisi (yang bahkan bukan anggota MPR).
Disini komentar-komentar negatif ini sering tidak terbalas. Kadang memang ada
admin atau institusi yang memiliki policy untuk tidak membalas komentar
Netizen, tapi saya jujur agak kurang setuju dengan cara ini.
Sosial media adalah garda terdepan dalam menghadapi konflik masyarakat.
Masyarakat banyak yang mengandalkan media sosial untuk menyampaikan
keluhan-keluhan yang mereka miliki, sehingga respon terhadap konflik menjadi
hal yang sangat penting untuk dikuasai di media sosial.
Misalnya, saat ada keluhan yang harusnya diarahkan ke Ombudsman RI, tapi
karena ketidaktahuan masyarakat keluhan tersebut 'nyasar' di media sosial MPR,
maka Admin bisa merespon dengan mengarahkan ke jalur komplain yang tepat.
Jangan lupa untuk gunakan bahasa yang penuh empati saat menyampaikan arahan
tersebut.
Nah disinilah pentingnya brand guidelines. brand guidelines bisa membantu
Admin untuk memberikan respon awal yang sesuai dengan arahan institusi. Jadi,
admin nggak bingung harus membalas apa.
Ide Konten dari Duckofyork untuk MPR RI
Karena menurut saya mengkritisi dan memberikan saran tidak akan seimbang jika tidak dilakukan dengan contoh, maka saya ((iseng)) membuat moodboard seandainya saya bekerja sebagai content creator di MPR RI.
Tentunya moodboard ini masih mentah banget karena (lagi-lagi) proses recovery tipes saya kali ini sedikit lebih panjang daripada biasanya. Tapiiiiii.... teteup menurut saya membuat moodboard seperti ini bisa membantu rekan-rekan di MPR dalam menentukan proses kreasi konten kedepannya.
Selain itu membuat kalender konten juga akan mempermudah admin, karena admin tidak perlu membuat konten setiap hari. Konten yang bagus juga bisa dishare ke media sosial lainnya secara berkala (jujur saya kebantu banget sama Canva premium yang bisa auto resize konten, meski saya nggak menyarankan untuk menggunakan Canva di media sosial Institusi Resmi hehehe)
Demikianlah sedikit blog post dari saya. Mungkin teman-teman ada yang berminat menambahkan?
Tidak ada komentar
Posting Komentar