Salah satu hal yang saya sukai dari perjalanan dinas adalah saya bisa mendatangi tempat-tempat baru, misalnya saja padang Fulan Fehan di Belu, Nusa Tenggara Timur.
Tempat super cantik yang mirip Wallpaper XP ini berada di perbukitan di Atambua, dekat dengan perbatasan Indonesia - Timor Leste. Dari pusat kota Atambua kira-kira butuh waktu sekitar setengah jam sampai 45 menit menggunakan mobil.
Lokasinya di Desa Dirun, kecamatan Lakmanen, kabupaten Belu NTT. Kalau baca-baca referensi, jaraknya sekitar 26 kilo dari kota Atambua. Kalau soal transportasi jujur aja saya dan team sewa mobil, jadi nggak banyak referensi soal angkutan umum ke Fulan Fehan ini.
Kebetulan waktu itu tim kami sedang keliling Belu, jadi nggak bisa kasih estimasi waktu perjalanan dan jarak, tapi perjalanan naik ke Fulan Fehan ini bisa dilakukan dengan naik mobil. Waktu saya googling, informasi yang ada cuma bisa dengan hiking saja. Nggak kebayang kalau harus hiking naik ke atas, dijamin pasti saya gempor!
Intermezzo Dikit: Perjalanan Kupang Belu
Karena waktu saya ke Belu bandaranya masih ditutup, jadi mau nggak mau saya menempuh perjalanan darat. Perjalanan yang saya tempuh yaitu flight Jogja - Denpasar - Kupang dan dilanjutkan dengan perjalanan darat selama 10 jam ke Belu naik mobil.
Pesan dari saya: buat yang belum terbiasa dengan perjalanan darat yang berkelok dan naik turun, sedia antimo!
Driver saya yang kebetulan warga lokal di Kupang juga bercerita kalau wajar banget saya mabuk, wong warga lokal pun banyak yang mabok jika ngga kuat perjalanannya. Makanya di sekitar jalur lintas timur ini banyak warung makan dan toilet untuk para pejalan menenangkan diri.
Padang Fulan Fehan
Kelelahan saya selama 10 jam (dan 3 hari kerja) terbayar lunas begitu sampai di Sabana paling cantik di timur Indonesia ini. Ya, sabana di NTT memang cantik-cantik, tapi Fulan Fehan Atambua ini otherworldly banget.
Jujur ngga banyak yang bisa saya ceritakan soal tempat ini selain cantik banget sampai saya jadi kehabisan kata-kata.
Posisinya ada di kaki gunung Lakaan, tapi waktu kami disana, kami melihat banyak kerikil yang bentuknya seperti batu koral. Menurut rekan kami, kemungkinan besar dulunya pada masa purba gunung lakaan ini berada di bawah air. Sayangnya belum banyak penelitian soal Gunung Lakaan ini.
Nah disini ada benteng yang namanya Benteng Ranu Hitu atau Benteng 7 Lapis. Konon Benteng ini sudah ada dari jaman dulu sekali sebelum penjajahan Portugis di tanah NTT. Jadi karena 7 lapis dan berada di perbukitan, benteng ini jadi sulit diserang begitu.
Tapi kami nggak mampir ke benteng ini karena.... saya (lagi-lagi) mabok darat setelah menyusuri jalur sabuk merah perbatasan NTT.
(Pesan layanan masyarakat: ini bukan salah tempatnya, memang lambung saya yang lemah)
Waktu Terbaik Mengunjungi Fulan Fehan (dan Belu)
Saya datang ke Fulan Fehan sekitar awal bulan desember dan sedang musim hujan, jadi rumput di Fulan Fehan sedang hijau-hijaunya. Kalau kata rekan saya yang merupakan warga asli Belu, saat musim kemarau, bukit di Fulan Fehan jadi coklat seperti savana.
Nah di musim hujan, bukit-bukit di Belu akan menghijau, termasuk di Fulan Fehan. Kalau sudah menghijau, maka sapi-sapi liar dan kuda liar akan lebih sering terlihat menjelajahi Fulan Fehan. Kami sempat lihat rombongan sapi liar sedang merumput. Sayang nggak tertangkap pamera karena jaraknya jauh.
Pemandangan Alam di Fulan Fehan
Yang saya suka dari Fulan Fehan adalah tempat ini masih dijaga keasliannya. Hanya ada gerbang batu yang dibuat oleh masyarakat serta papan peringatan untuk menjaga kebersihan. Sisanya tidak ada spot selfie seperti lampu berbentuk hati, odong-odong berlampu, dan aneka printilan wisata ala-ala yang menyakiti mata khas ((destinasi wisata andalan))
Tapi percayalah, tanpa ornamen apapun, pemandangan alam di Fulan Fehan, juara!
Pernah lihat wallpaper XP yang bentuknya bukit hijau dengan langit biru? Nah seperti itulah kira-kira bentuknya.
Sepanjang jalan, kamu akan menemukan pemandangan perbukitan yang indah. Walaupun jalanan mobil ke Fulan Fehan agak terjal dan belum sepenuhnya di aspal, tapi terbayar dengan hamparan pemandangan yang luar biasa.
Di Fulan Fehan juga ada tempat istirahat berupa semacam rest area dengan gazebo untuk berteduh. Waktu saya kesini tidak ada pengurusnya, jadi kami masuk dan tidak ditarik biaya sepeserpun. Karena disini perbukitan jadi udaranya sejuk dan dingin, tapi dinginnya itu yang masuk di akal begitu lho. Kita jadi nggak perlu menggunakan jaket. Pokoknya udaranya enak.
Oh ya waktu disini saya belum menemukan wc umum jadi siap-siap untuk mengosongkan bladder sebelum kesini ya. Mungkin saya yang kurang tahu dimana WC nya.
Setelah beberapa jam menikmati padang Fulan Fehan dan menonton sapi liar dan kuda berlarian kesana kemari, kami akhirnya kembali ke Atambua untuk perjalanan pulang ke Kupang.
Terlepas untuk sampai kesini perlu pengorbanan, saya nggak sabar pengen balik lagi ke Fulan Fehan. Semoga suatu hari nanti saya bisa datang kesini lagi.
Salah satu hal yang saya sukai dari perjalanan dinas adalah saya bisa mendatangi tempat-tempat baru, misalnya saja padang Fulan Fehan di Belu, Nusa Tenggara Timur.
Tempat super cantik yang mirip Wallpaper XP ini berada di perbukitan di Atambua, dekat dengan perbatasan Indonesia - Timor Leste. Dari pusat kota Atambua kira-kira butuh waktu sekitar setengah jam sampai 45 menit menggunakan mobil.
Lokasinya di Desa Dirun, kecamatan Lakmanen, kabupaten Belu NTT. Kalau baca-baca referensi, jaraknya sekitar 26 kilo dari kota Atambua. Kalau soal transportasi jujur aja saya dan team sewa mobil, jadi nggak banyak referensi soal angkutan umum ke Fulan Fehan ini.
Kebetulan waktu itu tim kami sedang keliling Belu, jadi nggak bisa kasih estimasi waktu perjalanan dan jarak, tapi perjalanan naik ke Fulan Fehan ini bisa dilakukan dengan naik mobil. Waktu saya googling, informasi yang ada cuma bisa dengan hiking saja. Nggak kebayang kalau harus hiking naik ke atas, dijamin pasti saya gempor!
Intermezzo Dikit: Perjalanan Kupang Belu
Karena waktu saya ke Belu bandaranya masih ditutup, jadi mau nggak mau saya menempuh perjalanan darat. Perjalanan yang saya tempuh yaitu flight Jogja - Denpasar - Kupang dan dilanjutkan dengan perjalanan darat selama 10 jam ke Belu naik mobil.
Pesan dari saya: buat yang belum terbiasa dengan perjalanan darat yang berkelok dan naik turun, sedia antimo!
Driver saya yang kebetulan warga lokal di Kupang juga bercerita kalau wajar banget saya mabuk, wong warga lokal pun banyak yang mabok jika ngga kuat perjalanannya. Makanya di sekitar jalur lintas timur ini banyak warung makan dan toilet untuk para pejalan menenangkan diri.
Padang Fulan Fehan
Kelelahan saya selama 10 jam (dan 3 hari kerja) terbayar lunas begitu sampai di Sabana paling cantik di timur Indonesia ini. Ya, sabana di NTT memang cantik-cantik, tapi Fulan Fehan Atambua ini otherworldly banget.
Jujur ngga banyak yang bisa saya ceritakan soal tempat ini selain cantik banget sampai saya jadi kehabisan kata-kata.
Posisinya ada di kaki gunung Lakaan, tapi waktu kami disana, kami melihat banyak kerikil yang bentuknya seperti batu koral. Menurut rekan kami, kemungkinan besar dulunya pada masa purba gunung lakaan ini berada di bawah air. Sayangnya belum banyak penelitian soal Gunung Lakaan ini.
Nah disini ada benteng yang namanya Benteng Ranu Hitu atau Benteng 7 Lapis. Konon Benteng ini sudah ada dari jaman dulu sekali sebelum penjajahan Portugis di tanah NTT. Jadi karena 7 lapis dan berada di perbukitan, benteng ini jadi sulit diserang begitu.
Tapi kami nggak mampir ke benteng ini karena.... saya (lagi-lagi) mabok darat setelah menyusuri jalur sabuk merah perbatasan NTT.
(Pesan layanan masyarakat: ini bukan salah tempatnya, memang lambung saya yang lemah)
Waktu Terbaik Mengunjungi Fulan Fehan (dan Belu)
Saya datang ke Fulan Fehan sekitar awal bulan desember dan sedang musim hujan, jadi rumput di Fulan Fehan sedang hijau-hijaunya. Kalau kata rekan saya yang merupakan warga asli Belu, saat musim kemarau, bukit di Fulan Fehan jadi coklat seperti savana.
Nah di musim hujan, bukit-bukit di Belu akan menghijau, termasuk di Fulan Fehan. Kalau sudah menghijau, maka sapi-sapi liar dan kuda liar akan lebih sering terlihat menjelajahi Fulan Fehan. Kami sempat lihat rombongan sapi liar sedang merumput. Sayang nggak tertangkap pamera karena jaraknya jauh.
Pemandangan Alam di Fulan Fehan
Yang saya suka dari Fulan Fehan adalah tempat ini masih dijaga keasliannya. Hanya ada gerbang batu yang dibuat oleh masyarakat serta papan peringatan untuk menjaga kebersihan. Sisanya tidak ada spot selfie seperti lampu berbentuk hati, odong-odong berlampu, dan aneka printilan wisata ala-ala yang menyakiti mata khas ((destinasi wisata andalan))
Tapi percayalah, tanpa ornamen apapun, pemandangan alam di Fulan Fehan, juara!
Pernah lihat wallpaper XP yang bentuknya bukit hijau dengan langit biru? Nah seperti itulah kira-kira bentuknya.
Sepanjang jalan, kamu akan menemukan pemandangan perbukitan yang indah. Walaupun jalanan mobil ke Fulan Fehan agak terjal dan belum sepenuhnya di aspal, tapi terbayar dengan hamparan pemandangan yang luar biasa.
Di Fulan Fehan juga ada tempat istirahat berupa semacam rest area dengan gazebo untuk berteduh. Waktu saya kesini tidak ada pengurusnya, jadi kami masuk dan tidak ditarik biaya sepeserpun. Karena disini perbukitan jadi udaranya sejuk dan dingin, tapi dinginnya itu yang masuk di akal begitu lho. Kita jadi nggak perlu menggunakan jaket. Pokoknya udaranya enak.
Oh ya waktu disini saya belum menemukan wc umum jadi siap-siap untuk mengosongkan bladder sebelum kesini ya. Mungkin saya yang kurang tahu dimana WC nya.
Setelah beberapa jam menikmati padang Fulan Fehan dan menonton sapi liar dan kuda berlarian kesana kemari, kami akhirnya kembali ke Atambua untuk perjalanan pulang ke Kupang.
Terlepas untuk sampai kesini perlu pengorbanan, saya nggak sabar pengen balik lagi ke Fulan Fehan. Semoga suatu hari nanti saya bisa datang kesini lagi.
Tidak ada komentar
Posting Komentar