Dari saya kecil, saya sudah terbiasa hidup maksimalis. Maklumlah, untuk ukuran keluarga kecil beranggotakan satu anak, rumah keluarga saya terbilang besar--cukup untuk koprol-koprol ke kiri dan ke kanan sepuluh kali kalo saya sedang bosan.
Seiring bertambah dewasanya saya (ceileh), saya pun pindah ke rumah yang lebih kecil sendirian. Keluarga saya juga sudah hidup masing-masing menikmati masa tua. Jadilah saya yang terbiasa punya banyak barang mendadak harus downsizing semua harta benda yang saya miliki. Lucunya, jauh sebelum tinggal dirumah, saya tinggal di sebuah kamar asrama berukuran 3x1,8m yang sempitnya alamakjang. Waktu saya pindah ke rumah dari asrama, ternyata bawaan saya sekitar 12 kardus berukuran sedang.
Saya jadi berpikir keras, "gila nih, gue punya apa aja dulu di asrama sampe bisa sepenuh ini?" Panik gak sih dirimu, ketika bawaan hidupmu di kamar yang sempit ternyata berhasil mengisi 3/4 rumah tipe 45?
Sampailah saya pada kesimpulan kalau saya ini orangnya hoarding, alias penimbun. Apa yang saya timbun? apapun! hal-hal yang ngga penting dari kartu nama, brosur, pricetag baju, dan lain-lain semuanya ada. Saya sampai kewalahan sendiri melihatnya.
Awal-awal, saya berhasil meninggalkan hobi kebiasaan hoarding itu dan menggantinya dengan kehidupan yang lebih minimalis. satu tahun berlalu, dua tahun, tiga tahun...dan tidak terasa saya akan menikah. Otomatis dong, saya beres-beres rumah untuk make room buat pak suami--yang waktu itu masih calon. Berbekal e-book nya Marie Kondo & puluhan video youtube soal bersih-bersih, berbereslah saya.
Mau tau hasilnya? saya berhasil ngiloin kertas sebanyak 75 kilogram kertas. 75 KILO SAUDARA-SAUDARA. Ngga tau saya itu 75 kilo kertas muncul secara ajaib dari mana. Nah itu baru kertas, dan belom yang lain-lain semisal.... satu kantong plastik sampah ukuran besar kosmetik yang ngga terpakai. Padahal kantong plastiknya bisa buat saya main petak umpet! huft.
Bicara soal pak suami? dia sih lebih parah lagi. Tumpukan resep, katalog, dan sampel obat untuk hewan dimana-mana. Belom sisa-sisa rekam medik pasien pribadinya. Kadang kalau lagi beres-beres, saya suka sebel melihat goodie bag produk hewan yang berceceran dimana-mana.
Nah belakangan, saya sering liat teman-teman saya posting di sosmed soal memulai minimalist living lagi di Indonesia--and I jumped right back into the Bandwagon, simply because I have to many stuff and I (deep down) really want to get rid of them.
Setelahkepo riset secara ekstensif di sosial media, ternyata sekarang di Jepang dan US lagi ngetrend banget si minimalist living ini. Apa sih minimalist living itu? artinya kita hanya memiliki benda-benda yang kita butuhkan--bukan benda-benda yang sekadar memenuhi rumah kita. Bahkan minimalist living ini gak cuma sekadar masalah benda-benda yang kita miliki, tapi juga soal declutter jadwal dan sampah digital kita juga lho!
Pernah ngga sih kamu merasa sebal melihat baju-bajumu, atau bosan melihat koleksi make-up mu yang itu-itu saja? Nah itu yang saya rasakan sekarang. Seiring dengan berjalannya waktu, kemeja flanel yang saya sukai di awal kuliah S1 itu sudah nggak menarik lagi, t-shirt band indie yang saya puja jaman SMA juga sudah berubah fungsi jadi baju tidur. And like it or not, I bet you have the same thing!
Kalo bisa dibilang, saya juga belum bisa 100% meminimalisasi benda-benda dirumah sih. Contoh yang paling kongkrit adalah soal piring-piring dan gelas-gelas. Selama ini sih saya mikirnya mau jaga-jaga kalau suatu hari ada tamu banyak atau disuruh pinjemin piring untuk kendurian tetangga. Jadi sebenarnya masih banyak juga clutter alias benda-benda yang sebenarnya gak benar-benar saya butuhkan.
Ini juga sih yang membuat saya masih sulit untuk memulai minimalist living di Indonesia. Untuk yang tinggal di kota boleh lah ya cuma punya 1-2 piring untuk diri sendiri, tapi kalau masih tinggal di kampung kayak saya ini? Mana bisaaaaa.... bisa-bisa dibilang sombong kalau ngga mau pinjemin piring pas acara-acara desa.
Belum lagi tuntutan "satu baju gak boleh dipake dua kali". Duh jujur deh, ini tuntutan sosial yang paling ngga masuk diakal buat saya, tapi apa daya, kalau misalnya saya keliatan terlalu sering memakai satu outfit (yang menurut saya sudah kece badai cetar halilintar) nanti bisa-bisa tetangga-tetangga komentar "duh istrinya pak dokter masa bajunya itu-itu aja"--kan bete, karena pak suami dibawa-bawa.
Padahal ya, yang namanya Marie Kondo itu juga bajunya cuma beberapa aja. Kalau misalnya saya mau simpen 1-5 baju yang itu-itu aja, sisanya saya jual setelah 2-3 kali pakai kok rasanya sayang betul. Belum baju preloved biasanya harganya jatuh. Just saying, saya juga bukan tipikal yang rajin beli baju kok, tapi kalau beli baju untuk 1-2 occasion aja rasanya sayang-sayang uang betul. Tapi sekali lagi ya, saya pun menyerah pada lingkungan sosial *kemudian mengangkat tangan dan melambaikan kepada kamera*.
Jadi sebenarnya apa yang dibutuhkan untuk memulai minimalist living di Indonesia? Simpel, kita butuh mental dan keberanian. Keberanian untuk mendekap dompet erat-erat di musim sale dan lipen yang kita inginkan harganya mursida luar biasa dan mental untuk siap dicerca karena "gak punya apa-apa". Keberanian untuk bilang bahwa kita ngga perlu empat teko dengan warna yang berbeda, satu untuk teh, satu untuk kopi, satu untuk air dan satu lagi untuk sirup karena kita khawatir kalau dicampur-campur nanti rasa minumannya juga ikut kecampur. Keberanian untuk bilang ke pak suami kalau dia punya jatah 1 kardus saja untuk semua printilan non-fungsional yang ia bawa pulang dari kantor.
Terus kalau udah punya mentalnya? Gimana?
Kalau kita sudah yakin bakal memulai minimalist living, kita perlu banget menyiapkan target untuk beres-beres, dan kita bisa membagi proses beres-beres yang heboh itu menjadi beberapa bagian, misalnya, minggu ini kita akan beres-beres baju, minggu depan beres-beres buku, dan seterusnya, dan semuanya akan selesai dalam lima minggu. Percaya deh, memenuhi target ini berat banget, makanya sebelum saya beres-beres saya sempat berkali-kali membaca ulang bukunya Marie Kondo supaya paham teknik membereskan rumah yang efektif.
Tapi kalau setelah saya resapi nih ya, satu-satunya teknik yang kamu butuhkan adalah niat dan fokus. Kalau kita mencoba beres-beres dalam posisi pikiran kemana-mana ya hasilnya bakal kemana-mana. Misalnya kalau kita beresin baju sambil mikirin makanan, ya ujung-ujungnya lari deh kita ke dapur dan beres-beresnya gak jadi dilanjutin. Kelar makan, eh udah keburu males, dan begitu seterusnya.
Dan jujur, proses beres-beres paling berat untuk saya itu ada di bagian miscellaneous junk yang penuh memori. Susah ya, membuang benda-benda pemberian dari mantandan mantan teman-teman yang emang sudah tidak kita butuhkan lagi (sambil duduk memangku parfum harga sekian juta yang sekarang sudah nggak pernah saya pakai) belum lagi kalau ada nilai sentimentil dari benda-benda tersebut. Hmmm.. makin jadi lah sulitnya. Belum kalau suatu saat mereka dateng terus nanya "eh *insert_nama_hadiah* dari gue mana??" tengsin betul deh.
Ya sebenarnya sih, kalau kita mikirnya 'nantinya', 'nantinya', dan 'nantinya' ya gak jadi-jadilah kita hidup minimalis. Makanya kita benar-benar harus menekankan mindset untuk bersih-bersih dalam kehidupan yang seutuhnya. Jadinya, meskipun furnitur dan printilan kita dirumah sudah minimalis tapi hati kita masih maksimalis.
Selepas beres-beres rumah, hal terpenting kedua adalah membereskan hati kita. Pernah ngga sih kita merasa hidup kita terlalu padat dan dipenuhi hal-hal yang sebenarnya kita butuhkan HANYA UNTUK EKSISTENSI?
Well, saya selalu menekankan pada diri saya, busy is not always equal productive, sibuk tidak selalu sama dengan produktif. Ini penting banget. Setiap saya melihat jadwal saya, saya bisa mengatakan saya orang yang sibuk, tapi saya juga ngga bisa bilang saya orang yang produktif. Kesibukan apa sih yang bisa saya cut dari hidup saya?
Ternyata setelah saya melakukan re-evaluasi terhadap kalender, banyak kok kesibukan yang bisa saya potong dari hidup saya. Contoh utamanya adalah nggosip dengan tetangga selepas sore hari, atau pergi ke arisan-arisan yang sebenarnya tidak terlalu saya sukai. Saya juga bisa memotong waktu saya didepan laptop dan bekerja. Saya masih bisa meluangkan waktu 10 menit untuk bermeditasi setiap harinya. And it's actually good for my soul.
Tapi saya juga paham, tidak semua orang bisa seperti ini, khususnya ibu-ibu yang sedang mengasuh anak balitanya. Setiap hari pasti full dengan jadwal bersama anak. Yang ingin saya tekankan adalah, semua orang perlu me-time. Yang bisa mengukur seberapa produktif kita, ya kita sendiri. Bukan orang lain. Mungkin bagi saya, produktif itu berarti bisa menyelesaikan puluhan task dalam sehari, sedangkan bagi ibu-ibu yang lain, produktif itu berarti bisa menghabiskan 12 jam bersama anak tanpa gangguan yang berarti. Sah-sah aja kok.
Karena minimalist living itu kan sebenarnya meminimalisir 'gangguan-gangguan' dari hidup kita supaya kita lebih happy dan lebih ceria. Jadi ini bukan hanya sekedar furnitur atau kalender, tapi juga bersih-bersih hati dan pikiran, gitu ibu-ibu.
Kalau soal tetangga, orang-orang di kiri dan di kanan, saya juga tidak mampu untuk bilang kita harus nyuekin mereka, karena di lingkungan saya pun jelas saya tidak bisa melakukannya. Tapi kalau kita bisa menjelaskan pelan-pelan kenapa kita 'berubah', maybe they'll came along too, who knows? gak ada yang tau kalau misalnya kita malah bisa menginspirasi mereka.
Jadi kapan kita mau mulai? Yuk saling support untuk memulai minimalist living sekarang!
Setelah
Pernah ngga sih kamu merasa sebal melihat baju-bajumu, atau bosan melihat koleksi make-up mu yang itu-itu saja? Nah itu yang saya rasakan sekarang. Seiring dengan berjalannya waktu, kemeja flanel yang saya sukai di awal kuliah S1 itu sudah nggak menarik lagi, t-shirt band indie yang saya puja jaman SMA juga sudah berubah fungsi jadi baju tidur. And like it or not, I bet you have the same thing!
Kalo bisa dibilang, saya juga belum bisa 100% meminimalisasi benda-benda dirumah sih. Contoh yang paling kongkrit adalah soal piring-piring dan gelas-gelas. Selama ini sih saya mikirnya mau jaga-jaga kalau suatu hari ada tamu banyak atau disuruh pinjemin piring untuk kendurian tetangga. Jadi sebenarnya masih banyak juga clutter alias benda-benda yang sebenarnya gak benar-benar saya butuhkan.
Ini juga sih yang membuat saya masih sulit untuk memulai minimalist living di Indonesia. Untuk yang tinggal di kota boleh lah ya cuma punya 1-2 piring untuk diri sendiri, tapi kalau masih tinggal di kampung kayak saya ini? Mana bisaaaaa.... bisa-bisa dibilang sombong kalau ngga mau pinjemin piring pas acara-acara desa.
Belum lagi tuntutan "satu baju gak boleh dipake dua kali". Duh jujur deh, ini tuntutan sosial yang paling ngga masuk diakal buat saya, tapi apa daya, kalau misalnya saya keliatan terlalu sering memakai satu outfit (yang menurut saya sudah kece badai cetar halilintar) nanti bisa-bisa tetangga-tetangga komentar "duh istrinya pak dokter masa bajunya itu-itu aja"--kan bete, karena pak suami dibawa-bawa.
Padahal ya, yang namanya Marie Kondo itu juga bajunya cuma beberapa aja. Kalau misalnya saya mau simpen 1-5 baju yang itu-itu aja, sisanya saya jual setelah 2-3 kali pakai kok rasanya sayang betul. Belum baju preloved biasanya harganya jatuh. Just saying, saya juga bukan tipikal yang rajin beli baju kok, tapi kalau beli baju untuk 1-2 occasion aja rasanya sayang-sayang uang betul. Tapi sekali lagi ya, saya pun menyerah pada lingkungan sosial *kemudian mengangkat tangan dan melambaikan kepada kamera*.
Jadi sebenarnya apa yang dibutuhkan untuk memulai minimalist living di Indonesia? Simpel, kita butuh mental dan keberanian. Keberanian untuk mendekap dompet erat-erat di musim sale dan lipen yang kita inginkan harganya mursida luar biasa dan mental untuk siap dicerca karena "gak punya apa-apa". Keberanian untuk bilang bahwa kita ngga perlu empat teko dengan warna yang berbeda, satu untuk teh, satu untuk kopi, satu untuk air dan satu lagi untuk sirup karena kita khawatir kalau dicampur-campur nanti rasa minumannya juga ikut kecampur. Keberanian untuk bilang ke pak suami kalau dia punya jatah 1 kardus saja untuk semua printilan non-fungsional yang ia bawa pulang dari kantor.
Terus kalau udah punya mentalnya? Gimana?
YA BERES-BERES DONG! *emosi*
Kalau kita sudah yakin bakal memulai minimalist living, kita perlu banget menyiapkan target untuk beres-beres, dan kita bisa membagi proses beres-beres yang heboh itu menjadi beberapa bagian, misalnya, minggu ini kita akan beres-beres baju, minggu depan beres-beres buku, dan seterusnya, dan semuanya akan selesai dalam lima minggu. Percaya deh, memenuhi target ini berat banget, makanya sebelum saya beres-beres saya sempat berkali-kali membaca ulang bukunya Marie Kondo supaya paham teknik membereskan rumah yang efektif.
Tapi kalau setelah saya resapi nih ya, satu-satunya teknik yang kamu butuhkan adalah niat dan fokus. Kalau kita mencoba beres-beres dalam posisi pikiran kemana-mana ya hasilnya bakal kemana-mana. Misalnya kalau kita beresin baju sambil mikirin makanan, ya ujung-ujungnya lari deh kita ke dapur dan beres-beresnya gak jadi dilanjutin. Kelar makan, eh udah keburu males, dan begitu seterusnya.
Dan jujur, proses beres-beres paling berat untuk saya itu ada di bagian miscellaneous junk yang penuh memori. Susah ya, membuang benda-benda pemberian dari mantan
Ya sebenarnya sih, kalau kita mikirnya 'nantinya', 'nantinya', dan 'nantinya' ya gak jadi-jadilah kita hidup minimalis. Makanya kita benar-benar harus menekankan mindset untuk bersih-bersih dalam kehidupan yang seutuhnya. Jadinya, meskipun furnitur dan printilan kita dirumah sudah minimalis tapi hati kita masih maksimalis.
Selepas beres-beres rumah, hal terpenting kedua adalah membereskan hati kita. Pernah ngga sih kita merasa hidup kita terlalu padat dan dipenuhi hal-hal yang sebenarnya kita butuhkan HANYA UNTUK EKSISTENSI?
Well, saya selalu menekankan pada diri saya, busy is not always equal productive, sibuk tidak selalu sama dengan produktif. Ini penting banget. Setiap saya melihat jadwal saya, saya bisa mengatakan saya orang yang sibuk, tapi saya juga ngga bisa bilang saya orang yang produktif. Kesibukan apa sih yang bisa saya cut dari hidup saya?
Ternyata setelah saya melakukan re-evaluasi terhadap kalender, banyak kok kesibukan yang bisa saya potong dari hidup saya. Contoh utamanya adalah nggosip dengan tetangga selepas sore hari, atau pergi ke arisan-arisan yang sebenarnya tidak terlalu saya sukai. Saya juga bisa memotong waktu saya didepan laptop dan bekerja. Saya masih bisa meluangkan waktu 10 menit untuk bermeditasi setiap harinya. And it's actually good for my soul.
Tapi saya juga paham, tidak semua orang bisa seperti ini, khususnya ibu-ibu yang sedang mengasuh anak balitanya. Setiap hari pasti full dengan jadwal bersama anak. Yang ingin saya tekankan adalah, semua orang perlu me-time. Yang bisa mengukur seberapa produktif kita, ya kita sendiri. Bukan orang lain. Mungkin bagi saya, produktif itu berarti bisa menyelesaikan puluhan task dalam sehari, sedangkan bagi ibu-ibu yang lain, produktif itu berarti bisa menghabiskan 12 jam bersama anak tanpa gangguan yang berarti. Sah-sah aja kok.
Karena minimalist living itu kan sebenarnya meminimalisir 'gangguan-gangguan' dari hidup kita supaya kita lebih happy dan lebih ceria. Jadi ini bukan hanya sekedar furnitur atau kalender, tapi juga bersih-bersih hati dan pikiran, gitu ibu-ibu.
Kalau soal tetangga, orang-orang di kiri dan di kanan, saya juga tidak mampu untuk bilang kita harus nyuekin mereka, karena di lingkungan saya pun jelas saya tidak bisa melakukannya. Tapi kalau kita bisa menjelaskan pelan-pelan kenapa kita 'berubah', maybe they'll came along too, who knows? gak ada yang tau kalau misalnya kita malah bisa menginspirasi mereka.
Jadi kapan kita mau mulai? Yuk saling support untuk memulai minimalist living sekarang!
Dari saya kecil, saya sudah terbiasa hidup maksimalis. Maklumlah, untuk ukuran keluarga kecil beranggotakan satu anak, rumah keluarga saya terbilang besar--cukup untuk koprol-koprol ke kiri dan ke kanan sepuluh kali kalo saya sedang bosan.
Seiring bertambah dewasanya saya (ceileh), saya pun pindah ke rumah yang lebih kecil sendirian. Keluarga saya juga sudah hidup masing-masing menikmati masa tua. Jadilah saya yang terbiasa punya banyak barang mendadak harus downsizing semua harta benda yang saya miliki. Lucunya, jauh sebelum tinggal dirumah, saya tinggal di sebuah kamar asrama berukuran 3x1,8m yang sempitnya alamakjang. Waktu saya pindah ke rumah dari asrama, ternyata bawaan saya sekitar 12 kardus berukuran sedang.
Saya jadi berpikir keras, "gila nih, gue punya apa aja dulu di asrama sampe bisa sepenuh ini?" Panik gak sih dirimu, ketika bawaan hidupmu di kamar yang sempit ternyata berhasil mengisi 3/4 rumah tipe 45?
Sampailah saya pada kesimpulan kalau saya ini orangnya hoarding, alias penimbun. Apa yang saya timbun? apapun! hal-hal yang ngga penting dari kartu nama, brosur, pricetag baju, dan lain-lain semuanya ada. Saya sampai kewalahan sendiri melihatnya.
Awal-awal, saya berhasil meninggalkan hobi kebiasaan hoarding itu dan menggantinya dengan kehidupan yang lebih minimalis. satu tahun berlalu, dua tahun, tiga tahun...dan tidak terasa saya akan menikah. Otomatis dong, saya beres-beres rumah untuk make room buat pak suami--yang waktu itu masih calon. Berbekal e-book nya Marie Kondo & puluhan video youtube soal bersih-bersih, berbereslah saya.
Mau tau hasilnya? saya berhasil ngiloin kertas sebanyak 75 kilogram kertas. 75 KILO SAUDARA-SAUDARA. Ngga tau saya itu 75 kilo kertas muncul secara ajaib dari mana. Nah itu baru kertas, dan belom yang lain-lain semisal.... satu kantong plastik sampah ukuran besar kosmetik yang ngga terpakai. Padahal kantong plastiknya bisa buat saya main petak umpet! huft.
Bicara soal pak suami? dia sih lebih parah lagi. Tumpukan resep, katalog, dan sampel obat untuk hewan dimana-mana. Belom sisa-sisa rekam medik pasien pribadinya. Kadang kalau lagi beres-beres, saya suka sebel melihat goodie bag produk hewan yang berceceran dimana-mana.
Nah belakangan, saya sering liat teman-teman saya posting di sosmed soal memulai minimalist living lagi di Indonesia--and I jumped right back into the Bandwagon, simply because I have to many stuff and I (deep down) really want to get rid of them.
Setelahkepo riset secara ekstensif di sosial media, ternyata sekarang di Jepang dan US lagi ngetrend banget si minimalist living ini. Apa sih minimalist living itu? artinya kita hanya memiliki benda-benda yang kita butuhkan--bukan benda-benda yang sekadar memenuhi rumah kita. Bahkan minimalist living ini gak cuma sekadar masalah benda-benda yang kita miliki, tapi juga soal declutter jadwal dan sampah digital kita juga lho!
Pernah ngga sih kamu merasa sebal melihat baju-bajumu, atau bosan melihat koleksi make-up mu yang itu-itu saja? Nah itu yang saya rasakan sekarang. Seiring dengan berjalannya waktu, kemeja flanel yang saya sukai di awal kuliah S1 itu sudah nggak menarik lagi, t-shirt band indie yang saya puja jaman SMA juga sudah berubah fungsi jadi baju tidur. And like it or not, I bet you have the same thing!
Kalo bisa dibilang, saya juga belum bisa 100% meminimalisasi benda-benda dirumah sih. Contoh yang paling kongkrit adalah soal piring-piring dan gelas-gelas. Selama ini sih saya mikirnya mau jaga-jaga kalau suatu hari ada tamu banyak atau disuruh pinjemin piring untuk kendurian tetangga. Jadi sebenarnya masih banyak juga clutter alias benda-benda yang sebenarnya gak benar-benar saya butuhkan.
Ini juga sih yang membuat saya masih sulit untuk memulai minimalist living di Indonesia. Untuk yang tinggal di kota boleh lah ya cuma punya 1-2 piring untuk diri sendiri, tapi kalau masih tinggal di kampung kayak saya ini? Mana bisaaaaa.... bisa-bisa dibilang sombong kalau ngga mau pinjemin piring pas acara-acara desa.
Belum lagi tuntutan "satu baju gak boleh dipake dua kali". Duh jujur deh, ini tuntutan sosial yang paling ngga masuk diakal buat saya, tapi apa daya, kalau misalnya saya keliatan terlalu sering memakai satu outfit (yang menurut saya sudah kece badai cetar halilintar) nanti bisa-bisa tetangga-tetangga komentar "duh istrinya pak dokter masa bajunya itu-itu aja"--kan bete, karena pak suami dibawa-bawa.
Padahal ya, yang namanya Marie Kondo itu juga bajunya cuma beberapa aja. Kalau misalnya saya mau simpen 1-5 baju yang itu-itu aja, sisanya saya jual setelah 2-3 kali pakai kok rasanya sayang betul. Belum baju preloved biasanya harganya jatuh. Just saying, saya juga bukan tipikal yang rajin beli baju kok, tapi kalau beli baju untuk 1-2 occasion aja rasanya sayang-sayang uang betul. Tapi sekali lagi ya, saya pun menyerah pada lingkungan sosial *kemudian mengangkat tangan dan melambaikan kepada kamera*.
Jadi sebenarnya apa yang dibutuhkan untuk memulai minimalist living di Indonesia? Simpel, kita butuh mental dan keberanian. Keberanian untuk mendekap dompet erat-erat di musim sale dan lipen yang kita inginkan harganya mursida luar biasa dan mental untuk siap dicerca karena "gak punya apa-apa". Keberanian untuk bilang bahwa kita ngga perlu empat teko dengan warna yang berbeda, satu untuk teh, satu untuk kopi, satu untuk air dan satu lagi untuk sirup karena kita khawatir kalau dicampur-campur nanti rasa minumannya juga ikut kecampur. Keberanian untuk bilang ke pak suami kalau dia punya jatah 1 kardus saja untuk semua printilan non-fungsional yang ia bawa pulang dari kantor.
Terus kalau udah punya mentalnya? Gimana?
Kalau kita sudah yakin bakal memulai minimalist living, kita perlu banget menyiapkan target untuk beres-beres, dan kita bisa membagi proses beres-beres yang heboh itu menjadi beberapa bagian, misalnya, minggu ini kita akan beres-beres baju, minggu depan beres-beres buku, dan seterusnya, dan semuanya akan selesai dalam lima minggu. Percaya deh, memenuhi target ini berat banget, makanya sebelum saya beres-beres saya sempat berkali-kali membaca ulang bukunya Marie Kondo supaya paham teknik membereskan rumah yang efektif.
Tapi kalau setelah saya resapi nih ya, satu-satunya teknik yang kamu butuhkan adalah niat dan fokus. Kalau kita mencoba beres-beres dalam posisi pikiran kemana-mana ya hasilnya bakal kemana-mana. Misalnya kalau kita beresin baju sambil mikirin makanan, ya ujung-ujungnya lari deh kita ke dapur dan beres-beresnya gak jadi dilanjutin. Kelar makan, eh udah keburu males, dan begitu seterusnya.
Dan jujur, proses beres-beres paling berat untuk saya itu ada di bagian miscellaneous junk yang penuh memori. Susah ya, membuang benda-benda pemberian dari mantandan mantan teman-teman yang emang sudah tidak kita butuhkan lagi (sambil duduk memangku parfum harga sekian juta yang sekarang sudah nggak pernah saya pakai) belum lagi kalau ada nilai sentimentil dari benda-benda tersebut. Hmmm.. makin jadi lah sulitnya. Belum kalau suatu saat mereka dateng terus nanya "eh *insert_nama_hadiah* dari gue mana??" tengsin betul deh.
Ya sebenarnya sih, kalau kita mikirnya 'nantinya', 'nantinya', dan 'nantinya' ya gak jadi-jadilah kita hidup minimalis. Makanya kita benar-benar harus menekankan mindset untuk bersih-bersih dalam kehidupan yang seutuhnya. Jadinya, meskipun furnitur dan printilan kita dirumah sudah minimalis tapi hati kita masih maksimalis.
Selepas beres-beres rumah, hal terpenting kedua adalah membereskan hati kita. Pernah ngga sih kita merasa hidup kita terlalu padat dan dipenuhi hal-hal yang sebenarnya kita butuhkan HANYA UNTUK EKSISTENSI?
Well, saya selalu menekankan pada diri saya, busy is not always equal productive, sibuk tidak selalu sama dengan produktif. Ini penting banget. Setiap saya melihat jadwal saya, saya bisa mengatakan saya orang yang sibuk, tapi saya juga ngga bisa bilang saya orang yang produktif. Kesibukan apa sih yang bisa saya cut dari hidup saya?
Ternyata setelah saya melakukan re-evaluasi terhadap kalender, banyak kok kesibukan yang bisa saya potong dari hidup saya. Contoh utamanya adalah nggosip dengan tetangga selepas sore hari, atau pergi ke arisan-arisan yang sebenarnya tidak terlalu saya sukai. Saya juga bisa memotong waktu saya didepan laptop dan bekerja. Saya masih bisa meluangkan waktu 10 menit untuk bermeditasi setiap harinya. And it's actually good for my soul.
Tapi saya juga paham, tidak semua orang bisa seperti ini, khususnya ibu-ibu yang sedang mengasuh anak balitanya. Setiap hari pasti full dengan jadwal bersama anak. Yang ingin saya tekankan adalah, semua orang perlu me-time. Yang bisa mengukur seberapa produktif kita, ya kita sendiri. Bukan orang lain. Mungkin bagi saya, produktif itu berarti bisa menyelesaikan puluhan task dalam sehari, sedangkan bagi ibu-ibu yang lain, produktif itu berarti bisa menghabiskan 12 jam bersama anak tanpa gangguan yang berarti. Sah-sah aja kok.
Karena minimalist living itu kan sebenarnya meminimalisir 'gangguan-gangguan' dari hidup kita supaya kita lebih happy dan lebih ceria. Jadi ini bukan hanya sekedar furnitur atau kalender, tapi juga bersih-bersih hati dan pikiran, gitu ibu-ibu.
Kalau soal tetangga, orang-orang di kiri dan di kanan, saya juga tidak mampu untuk bilang kita harus nyuekin mereka, karena di lingkungan saya pun jelas saya tidak bisa melakukannya. Tapi kalau kita bisa menjelaskan pelan-pelan kenapa kita 'berubah', maybe they'll came along too, who knows? gak ada yang tau kalau misalnya kita malah bisa menginspirasi mereka.
Jadi kapan kita mau mulai? Yuk saling support untuk memulai minimalist living sekarang!
Setelah
Pernah ngga sih kamu merasa sebal melihat baju-bajumu, atau bosan melihat koleksi make-up mu yang itu-itu saja? Nah itu yang saya rasakan sekarang. Seiring dengan berjalannya waktu, kemeja flanel yang saya sukai di awal kuliah S1 itu sudah nggak menarik lagi, t-shirt band indie yang saya puja jaman SMA juga sudah berubah fungsi jadi baju tidur. And like it or not, I bet you have the same thing!
Kalo bisa dibilang, saya juga belum bisa 100% meminimalisasi benda-benda dirumah sih. Contoh yang paling kongkrit adalah soal piring-piring dan gelas-gelas. Selama ini sih saya mikirnya mau jaga-jaga kalau suatu hari ada tamu banyak atau disuruh pinjemin piring untuk kendurian tetangga. Jadi sebenarnya masih banyak juga clutter alias benda-benda yang sebenarnya gak benar-benar saya butuhkan.
Ini juga sih yang membuat saya masih sulit untuk memulai minimalist living di Indonesia. Untuk yang tinggal di kota boleh lah ya cuma punya 1-2 piring untuk diri sendiri, tapi kalau masih tinggal di kampung kayak saya ini? Mana bisaaaaa.... bisa-bisa dibilang sombong kalau ngga mau pinjemin piring pas acara-acara desa.
Belum lagi tuntutan "satu baju gak boleh dipake dua kali". Duh jujur deh, ini tuntutan sosial yang paling ngga masuk diakal buat saya, tapi apa daya, kalau misalnya saya keliatan terlalu sering memakai satu outfit (yang menurut saya sudah kece badai cetar halilintar) nanti bisa-bisa tetangga-tetangga komentar "duh istrinya pak dokter masa bajunya itu-itu aja"--kan bete, karena pak suami dibawa-bawa.
Padahal ya, yang namanya Marie Kondo itu juga bajunya cuma beberapa aja. Kalau misalnya saya mau simpen 1-5 baju yang itu-itu aja, sisanya saya jual setelah 2-3 kali pakai kok rasanya sayang betul. Belum baju preloved biasanya harganya jatuh. Just saying, saya juga bukan tipikal yang rajin beli baju kok, tapi kalau beli baju untuk 1-2 occasion aja rasanya sayang-sayang uang betul. Tapi sekali lagi ya, saya pun menyerah pada lingkungan sosial *kemudian mengangkat tangan dan melambaikan kepada kamera*.
Jadi sebenarnya apa yang dibutuhkan untuk memulai minimalist living di Indonesia? Simpel, kita butuh mental dan keberanian. Keberanian untuk mendekap dompet erat-erat di musim sale dan lipen yang kita inginkan harganya mursida luar biasa dan mental untuk siap dicerca karena "gak punya apa-apa". Keberanian untuk bilang bahwa kita ngga perlu empat teko dengan warna yang berbeda, satu untuk teh, satu untuk kopi, satu untuk air dan satu lagi untuk sirup karena kita khawatir kalau dicampur-campur nanti rasa minumannya juga ikut kecampur. Keberanian untuk bilang ke pak suami kalau dia punya jatah 1 kardus saja untuk semua printilan non-fungsional yang ia bawa pulang dari kantor.
Terus kalau udah punya mentalnya? Gimana?
YA BERES-BERES DONG! *emosi*
Kalau kita sudah yakin bakal memulai minimalist living, kita perlu banget menyiapkan target untuk beres-beres, dan kita bisa membagi proses beres-beres yang heboh itu menjadi beberapa bagian, misalnya, minggu ini kita akan beres-beres baju, minggu depan beres-beres buku, dan seterusnya, dan semuanya akan selesai dalam lima minggu. Percaya deh, memenuhi target ini berat banget, makanya sebelum saya beres-beres saya sempat berkali-kali membaca ulang bukunya Marie Kondo supaya paham teknik membereskan rumah yang efektif.
Tapi kalau setelah saya resapi nih ya, satu-satunya teknik yang kamu butuhkan adalah niat dan fokus. Kalau kita mencoba beres-beres dalam posisi pikiran kemana-mana ya hasilnya bakal kemana-mana. Misalnya kalau kita beresin baju sambil mikirin makanan, ya ujung-ujungnya lari deh kita ke dapur dan beres-beresnya gak jadi dilanjutin. Kelar makan, eh udah keburu males, dan begitu seterusnya.
Dan jujur, proses beres-beres paling berat untuk saya itu ada di bagian miscellaneous junk yang penuh memori. Susah ya, membuang benda-benda pemberian dari mantan
Ya sebenarnya sih, kalau kita mikirnya 'nantinya', 'nantinya', dan 'nantinya' ya gak jadi-jadilah kita hidup minimalis. Makanya kita benar-benar harus menekankan mindset untuk bersih-bersih dalam kehidupan yang seutuhnya. Jadinya, meskipun furnitur dan printilan kita dirumah sudah minimalis tapi hati kita masih maksimalis.
Selepas beres-beres rumah, hal terpenting kedua adalah membereskan hati kita. Pernah ngga sih kita merasa hidup kita terlalu padat dan dipenuhi hal-hal yang sebenarnya kita butuhkan HANYA UNTUK EKSISTENSI?
Well, saya selalu menekankan pada diri saya, busy is not always equal productive, sibuk tidak selalu sama dengan produktif. Ini penting banget. Setiap saya melihat jadwal saya, saya bisa mengatakan saya orang yang sibuk, tapi saya juga ngga bisa bilang saya orang yang produktif. Kesibukan apa sih yang bisa saya cut dari hidup saya?
Ternyata setelah saya melakukan re-evaluasi terhadap kalender, banyak kok kesibukan yang bisa saya potong dari hidup saya. Contoh utamanya adalah nggosip dengan tetangga selepas sore hari, atau pergi ke arisan-arisan yang sebenarnya tidak terlalu saya sukai. Saya juga bisa memotong waktu saya didepan laptop dan bekerja. Saya masih bisa meluangkan waktu 10 menit untuk bermeditasi setiap harinya. And it's actually good for my soul.
Tapi saya juga paham, tidak semua orang bisa seperti ini, khususnya ibu-ibu yang sedang mengasuh anak balitanya. Setiap hari pasti full dengan jadwal bersama anak. Yang ingin saya tekankan adalah, semua orang perlu me-time. Yang bisa mengukur seberapa produktif kita, ya kita sendiri. Bukan orang lain. Mungkin bagi saya, produktif itu berarti bisa menyelesaikan puluhan task dalam sehari, sedangkan bagi ibu-ibu yang lain, produktif itu berarti bisa menghabiskan 12 jam bersama anak tanpa gangguan yang berarti. Sah-sah aja kok.
Karena minimalist living itu kan sebenarnya meminimalisir 'gangguan-gangguan' dari hidup kita supaya kita lebih happy dan lebih ceria. Jadi ini bukan hanya sekedar furnitur atau kalender, tapi juga bersih-bersih hati dan pikiran, gitu ibu-ibu.
Kalau soal tetangga, orang-orang di kiri dan di kanan, saya juga tidak mampu untuk bilang kita harus nyuekin mereka, karena di lingkungan saya pun jelas saya tidak bisa melakukannya. Tapi kalau kita bisa menjelaskan pelan-pelan kenapa kita 'berubah', maybe they'll came along too, who knows? gak ada yang tau kalau misalnya kita malah bisa menginspirasi mereka.
Jadi kapan kita mau mulai? Yuk saling support untuk memulai minimalist living sekarang!
Jumat, 30 September 2016
.
lifehack /
lifestyle /
minimalism /
thoughts /
very personal
.
Nah ini nih memang berusaha bangeeet mbak saya lakuin. Mulai membeli seperlunya saja, plus mau declutter barang-barang (mulai dari pakaian). Tapi, setuju perlu fokus dan niat. DUh saya nih, pengin terus udah lupa mau lakuin karena sudah sibuk sama kiddos, deadline huhuhuh makasih udah ingetin lagi yang ini.
BalasHapus*lirik kamar dengan benda-benda berserakkan* >.<
hehehe kalau sudah ada kiddos dan deadline didepan mata memang sudah ribet ya mbak... kalau di beberapa video youtube yang saya tonton malah ada yang anak-anaknya sudah diajak melihat ibunya beres-beres bahkan membantu sejak kecil. Jadi declutteringnya kerasa menyenangkan karena dilakukan sekeluarga, tapi saya pun gatau gimana cara mengajarinya (soalnya belum punya anak hehehe, doain segera ya mbak)
Hapusterus kalo baca-baca di bukunya marie kondo emang harus ditackle one by one gitu mba. jadi satu hari khusus baju, besoknya khusus ruang tamu, dst. bagus sih, jadi bikin fokus..cuma emang harus bikin jadwal yang pas. soalnya di aku kejadian, begitu mau beresin ruang tamu...eh kamarnya udah berantakan lagi hahahaha
memang seharusnya membeli yang perlu saja biar gak konsumtif gtu :-) tapi memang susah sih untuk memulai, jadi niat harus di utamakan ;-)
BalasHapusIya, ngumpulin niatnya sulit tapi kalo liat orang lain sukses ngelakuin jadi semangat pengen nyoba juga. Ayo yuk dicoba minimalist lifestylenyaaa
HapusAku mah orangnya minimalist. RRibet kalau hidup serba wah. Tapi kadang pengen beli kaos lucu2 sih :)
BalasHapushalo mbak, aku suka banget baca postingan blog dirimu, seneng deh mbak berkenan mampir kesini. Iya mbak, bagi dong tips hidup minimalist ala mbak. Aku masih belajar banyak nih.. hehehe
HapusSaya juga dulu penimbun bahkan cenderung kolektor xixixi... tapi skrg sadar setiap barang yg kita punya akan ada tanggung jawabnya di akhirat jadi we..sk demi sedikit hilang :)
BalasHapusnah ini malah bagus mbak filosofinya... baru denger saya, kalo barang yang kita punya ada tanggung jawabnya di akhirat. seandainya semua orang tau mungkin kita jadi belajar lebih bertanggungjawab dengan apa yang kita punya ya mbak.. terimakasih sharenya
HapusSaya suka baca blognya, dari awal baca udah ketawa-ketawa gara-gara"koprol-koprol ke kiri dan ke kanan sepuluh kali kalo saya sedang bosan." Sama kertas 75Kg terus jadi bayangin tumpukan kertas seberat itu hehehe
BalasHapusSalam kenal Mba :)
Dream Big!
hehehe ukuran besar untuk anak-anak kan bisa koprol atau tidak mbak. itu 75kg nggak sekali jalan kok, dibagi beberapa sesi kalo ngga mungkin mobil saya ban nya pecah hehehee. salam kenal ya mbaaak!
HapusTtg baju, aku punya cara ampuh. Lemari bajuku yg dr plastik yg cuma 2pintu itu loh. Harus cukup. Kalo ga cukup ya harus ada yg dikurangin. Ahahaha.
BalasHapuswah bisa juga ini mbak tipsnya. sayangnya aku keburu punya lemari gede karena built-in huhu. tapi kalo jaman di asrama bener juga lemari plastik 2 pintu sukses bikin irit baju apalagi kalo modelnya laci, hahaha
Hapus75 kg itu mungkin bisajadi buku buku kuliah yang tebelnya masyaallah wkwkw
BalasHapusAku juga mungkin bakalan ngiloin buku seperti itu.
Btw aku suka banget sama gaya tulisannyaa <3
Aku juga penganut minimalist living tapi masih banyak godaan dari kanan kiri.
Apalagi soal lipstick, percayalah... punya lipstick cuma satu itu mustahil.
Apalagi eyeshadow, apalagi bedak, apalagi banyaaaak deh semuanya hahahaha
Emang harus niat dan punya mental yaa *ketok kepala sendiri*
penyumbang terbesarnya memang fotokopian materi kuliah dan revisi skripsi mbak, itu ada 13kg sendiri. sisanya ya sampah-sampah brosur majalah segala macem, ngeprint soal-soal tes GMAT, itu juga makan banyak hahaha
Hapuslipstick emang sih mbak, bawaannya nagih pengen beli lagi dan beli terus. kalau aku sekarang berusaha nahan diri dengan bawa pak suami/temen cowok yang kalau aku mau beli lipstick mereka pasti komen 'warna itu bukannya lo udah punya?' hahaha.
terus kalo jalan sama temen, lewat counter make up kudu dan harus pegangan tangan! supaya gak gratil pengen nyoba ini itu hehehe
ayo mbak semangat minimalist livingnya!
saya butuh inih mbaaak...
BalasHapussaya kalo beberes buntutnya malah jadi asyik sama barang-barang ga kepake itu. trus mikir-mikir dan batal buang barang.
nah!
kalo kata marie kondo, kalo lagi beresin buku jangan dibuka--ntar malah baca dan batal buang, demikian jg dengan hal-hal lain. cukup say thanks and let go, begituuuu, tapi kenyataannya mah sulit hahaha
Hapustetap semangat beres-beresnya ya mbak :D
Hi Agi, rasanya kalau di Indonesia itu kita juga harus pura-pura nggak dengar komentar orang ya :D
BalasHapusKata seorang teman dekat saya, "Nggak perlu dengerin komentar orang, kecuali dia bayarin tagihan gue! Baru deh gue dengerin!" Hahaha lucu ya. Intinya, orang akan terus berkomentar (baju lo itu-itu aja, gendut banget lo? Kapan diet? Kapan nikah? Kapan hamil? dll dll dll) tinggal kita yang menyesuaikan diri kita sendiri.
Soal minimalist living dan kesadaran finansial di Indonesia, orang seperti saya dan Agi itu bisa tergolong minoritas kalau di Jakarta :D Jadi semoga bisa menginspirasi orang banyak ya, Agi! Senang baca tulisannya :)
Thanks for sharing!
OMyGod ada kak Alo!!! :""D *starstruck*
Hapusbetul kak, rasa-rasanya sekarang minimalism bukan cuma sekadar beres-beres rumah, tapi juga meminimalisir keinginan untuk hidup seperti orang-orang lain, yang mungkin gak sesuai dengan pribadi kita. quotes dari teman kakak ada benarnya, besok mau aku coba praktekkan pas diomongin orang hahaha :D
mungkin sekarang kita masih minoritas kak, but who knows maybe 2-3 years from now ada orang-orang yang tergerak untuk memulai hidup yang lebih simple dan lebih bahagia :D kita harus optimis terus. apa yang dimulai dengan niat baik akan berkembang dengan baik pula pastinya.
keep inspiring people ya kak!
minimalis living tuh susah kalo ga kukuhin niat ya mbak..aku juga dulu pas beres2 barang sampe buang maket lama dari awal kuliah *udh jadi rumah kecoa kayaknya hehehe..belum lagi kertas2 gambar. Aku membatasi banget ke mall takut tiba2 udah kebeli aja ntah apa yang padahal ga perlu bangett bahkan ke mall kalo diundang event aja. Cuma di deket rumah juga susah nyari tempat hiburan seperti taman gitu..hehehe
BalasHapushttp://blueskyandme.com/2016/10/20/how-to-create-insta-worthy-selfie/
hehehe, kalo ke mall bawa temen mbak, terus tiap mau belanja pegangan tangan hihihi :))
Hapussemangat ya mbak, pasti bisa
Inspiratif mbak tulisannya, saya masih terus mencoba juga menjalani hidup minimalis
BalasHapusSenengnya nemu blog sesama 'korban' konmari.. Hidup minimalis tnyt menyenangkan yaaa..
BalasHapusBagus Mbak tulisannya. Jadi minimalist itu emang bikin hidup simpel. Gara2 itu juga saya nyuruh mama saya ngeberesin barangnya (mamaku orangnya agak hoarding he..he..). Saya juga mulai ngurangi baju di lemari dan ngebuang barang yang perlu. Pokoknya kalu mau jadi minimalis harus semangat beres2 nya.
BalasHapusmnatab
BalasHapusHai, saya membaca blog anda di penghujung 2020, saya ikuti apa yg anda lakukan, dan kesedihan saya akan masa lalu hilang, thank you so much for inspiring. :)
BalasHapus